Hmi Pekanbaru - Ada banyak literatur yang membahas “pragmatisme”. Kata ini sendiri memiliki porsi dalam kajian-kajian filsafat barat. Salah satunya dalam buku philosophy of education mendefinisikannya sebagai berikut, “The pragmatist proceeds from the basic premise that the human capability of theorizing is integral to intelligent practice. Theory and practice are not separate spheres; rather, theories and distinctions are tools or maps for finding our way in the world”.
Artinya pragmatisme dalam kacamata filsafat menitikberatkan analisa pada tindakan manusia. Sebagai turunan dari materialisme dan empirisisme yang melihat kebenaran pada aspek material (nyata), pragmatisme memandang bahwa teori pada dasarnya adalah alat untuk memenuhi tujuan hidup manusia di dunia.
Memang pada dasarnya Manusia tidak dapat terlepas dengan kebutuhan material, akan tetapi yang dimaksud dalam kajian pragmatisme adalah nilai guna atau manfaat yang dapat dirasakan bagi kehidupan khalayak ramai / masyarakat bukan dirinya sendiri (individual). Tersirat bahwa pragmatisme yang sebenarnya mengarah pada kebermanfaatan pada semua komponen masyarakat.
Yang menjadi masalah adalah terjadinya Radikalisme Pragmatis Materialistis yaitu, kemutlakan berfikir pragmatis/manfaat secara kebendaan. Karena pada dasarnya Ideologi Pragmatisme merupakan paham yang bersifat Absolutisme artinnya, adanya upaya mengarah pada pemutlakan nilai guna dan manfaat.
Misalnya, mahasiswa tersebut tidak mau melakukan kegiatan ilmiah jika tidak memperoleh insentif uang yang benar-benar sesuai, mencukupi dan layak bagi dirinya. Bukan pada upaya pemerolehan nilai pengetahuan dan pemahaman yang kongkret dibutuhkan oleh pengembangan kemampuan. Walaupun di luar bidang ilmunya sekalipun.
Dalam hal ini, bukan tataran menolak kekreatifitasan dan inovasi. Akan tetapi lebih pada level menolak faktor Determinisme yang terdapat dalam paham Pragmatisme. Artinya menolak pada arah berfikir yang menyatakan bahwa satu-satunya faktor yang menentukan segala kehidupan adalah nilai guna dan manfaat. Apalagi jika ditambah dengan arah berfikir yang meterialistis.
Orientasi ilmiah dalam pendidikan pun mengalami perubahan paradigma menjadi orientasi Pragmatisme Materialistis yang pada akhirnya menghasilkan generasi-generasi yang korup. Wajar saja jika kasus korupsi tidak kehabisan stock untuk memproduksi dan memperkenalkan aktor-aktor baru. Karena Pendidikan yang menjdi agen pencetak generasi masa depan sudah kerap dengan budaya Pragmatisme Materialistis.
Ini sungguh sebuah kondisi yang sangat ironis, ada sebuah pembusukan makna ilmiah. Mahasiswa bukan lagi berfikir mencari ilmu untuk mengabdi kepada masyarakat. Akan tetapi berfikir pada level bagaimana mencari keuntungan sebanyak-banyaknya untuk dirinya dengan menggunakan kegiatan ilmiah sebagai saham.
Jika seperti ini jangan berharap mahasiswa yang dulunya dianggap sebagai agen pengawas dan pengawal Pemerintah dapat berfikir kritis terhadap kebijakan pemerintah. Ia pun mudah tersandra oleh insentif materialistis yang diberikan pemerintah sebagai upaya MENINA BOBO Kan. Ia pasti sibuk dengan kegiatan yang dapat memperoleh materi untuk dirinya dan dapat mengangkat citranya. Ia cenderung mau-mau saja menerima sesuatu, yang penting untung buat dirinya.
Asas Praduga pun hilang, bahkan berubah mejadi rutinitas. Paradigma tersebut harus segera dirubah sebelum menjadi budaya yang mengakar, seharusnya mahasiswa dapat menjadikan bidang ilmu yang digelutnya sebagai wujud pengabdian pada bangsa dan tidak boleh lengah dengan kondisi-kondisi yang tidak sebagaimana mestinya.