Sesuai dengan AD/ART-nya, nama sesungguh dari HMI-MPO adalah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Adapun ada tambahan MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) di belakang kata Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah untuk identifikasi bahwa HMI yang ini berbeda dengan HMI yang bersekretariat di Jl. Diponegoro (atau biasa disebut denga HMI-Dipo). Penambahan istilah MPO ini lahir saat menjelang kongres HMI XVI di Padang, Sumatera Barat tanggal 24-31 Maret 1986, HMI mengalami perpecahan internal sebagai akibat dari represi dari rezim Orde Baru yang memaksakan penerapan Asas Tunggal Pancasila. HMI yang sejak semula berasaskan Islam terbelah menjadi dua kubu, yaitu antara kubu yang tetap mempertahankan asas Islam dengan kubu yang berusaha mengikuti perintah Presiden Suharto mengubah asasnya menjadi Pancasila.
Pada mulanya MPO merupakan nama sekelompok aktivis kritis HMI yang prihatin melihat HMI yang begitu terkooptasi oleh rezim orde baru. Kelompok ini merasa perlu bergerak untuk mengantisipasi intervensi penguasa pada HMI agar HMI mengubah azasnya yang semula Islam menjadi pancasila. Bagi aktivis MPO, perubahan azas ini merupakan simbol kemenangan penguasa terhadap gerakan mahasiswa yang akan berdampak pada termatikannya demokrasi di Indonesia.
Perpecahan tersebut berlangsung hingga kongres XVI, di mana kubu yang mempertahankan asas Islam akhirnya menyelenggarakan kongres sendiri di Yogyakarta. Pasca itu terbentuklah dua kepengurusan PB HMI, yaitu PB HMI yang menerima telah menerima penerapan Asas Tunggal dan PB HMI yang tetap menolak Asas Tunggal dengan tetap mempertahankan Islam sebagai asasnya. Dalam perkembangannya, pemerintah Orde Baru melakukan opresi terhadap kepengurusan HMI yang mempertahankan Islam ini, atau biasa dikenal dengan nama HMI-MPO (Himpunan Mahasiswa Islam – Majelis Penyelamat Organisasi). Selain dengan sebutan HMI-MPO, eksponen organisasi ini lebih senang menamakan dirinya sebagai HMI 1947, mengacu pada tahun pendirian HMI .
Sejak awal kemunculannya tahun 1980-an, HMI MPO tumbuh menjadi gerakan bawah tanah yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan negara. Pada periode 90-an awal HMI MPO adalah organisasi yang rajin mengkritik kebijakan Rezim Orba dan menentang kekuasaannya dengan menggunakan sayap-sayap aksinya yang ada di sejumlah provinsi. Sayap aksi HMI-MPO yang terkenal antara lain adalah FKMIJ (Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Jakarta) dan LMMY (Liga Mahasiswa Muslim Yogyakarta) di Yogyakarta.
Pada mulanya MPO merupakan nama sekelompok aktivis kritis HMI yang prihatin melihat HMI yang begitu terkooptasi oleh rezim orde baru. Kelompok ini merasa perlu bergerak untuk mengantisipasi intervensi penguasa pada HMI agar HMI mengubah azasnya yang semula Islam menjadi pancasila. Bagi aktivis MPO, perubahan azas ini merupakan simbol kemenangan penguasa terhadap gerakan mahasiswa yang akan berdampak pada termatikannya demokrasi di Indonesia.
Perpecahan tersebut berlangsung hingga kongres XVI, di mana kubu yang mempertahankan asas Islam akhirnya menyelenggarakan kongres sendiri di Yogyakarta. Pasca itu terbentuklah dua kepengurusan PB HMI, yaitu PB HMI yang menerima telah menerima penerapan Asas Tunggal dan PB HMI yang tetap menolak Asas Tunggal dengan tetap mempertahankan Islam sebagai asasnya. Dalam perkembangannya, pemerintah Orde Baru melakukan opresi terhadap kepengurusan HMI yang mempertahankan Islam ini, atau biasa dikenal dengan nama HMI-MPO (Himpunan Mahasiswa Islam – Majelis Penyelamat Organisasi). Selain dengan sebutan HMI-MPO, eksponen organisasi ini lebih senang menamakan dirinya sebagai HMI 1947, mengacu pada tahun pendirian HMI .
Sejak awal kemunculannya tahun 1980-an, HMI MPO tumbuh menjadi gerakan bawah tanah yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan negara. Pada periode 90-an awal HMI MPO adalah organisasi yang rajin mengkritik kebijakan Rezim Orba dan menentang kekuasaannya dengan menggunakan sayap-sayap aksinya yang ada di sejumlah provinsi. Sayap aksi HMI-MPO yang terkenal antara lain adalah FKMIJ (Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Jakarta) dan LMMY (Liga Mahasiswa Muslim Yogyakarta) di Yogyakarta.